Benarkah Anak Laki-laki Lebih Nakal daripada Anak Perempuan?

Pernyataan bahwa anak laki-laki lebih nakal daripada anak perempuan sering terdengar dalam percakapan sehari-hari. Namun, apakah hal ini benar secara ilmiah? Atau hanya stereotip yang diwariskan turun-temurun?

 

Perbedaan Perilaku: Fakta atau Persepsi?

Secara umum, anak laki-laki memang cenderung lebih aktif secara fisik dan eksploratif. Mereka lebih tertarik pada gerakan mekanis, seperti pantulan bola atau pukulan drum, dibandingkan anak perempuan yang lebih menyukai permainan sosial seperti boneka atau rumah-rumahan. Aktivitas fisik yang tinggi ini sering disalahartikan sebagai “kenakalan”.

Namun, menurut artikel dari Halodoc, perilaku aktif anak laki-laki bukan berarti mereka lebih nakal. Ini adalah bagian dari perkembangan motorik dan minat alami mereka terhadap dunia sekitar. Justru, melabeli mereka sebagai “nakal” bisa berdampak negatif pada perkembangan emosional dan rasa percaya diri anak.

 

🧠 Perkembangan Otak dan Hormonal

Ahli body language Allan dan Barbara Pease menjelaskan bahwa otak kanan anak laki-laki berkembang lebih cepat daripada otak kiri, yang berpengaruh pada kemampuan spasial dan fisik mereka. Sebaliknya, anak perempuan cenderung lebih cepat dalam perkembangan verbal dan sosial. Perbedaan ini bukan soal kenakalan, melainkan cara anak memproses dan mengekspresikan diri.

 

Peran Lingkungan dan Pola Asuh

Anak laki-laki sering dianggap sulit diatur karena mereka cenderung menyimpan perasaan dan mengekspresikannya lewat tindakan fisik. Sementara anak perempuan lebih verbal dan terbuka dalam menyampaikan emosi. Pola asuh yang responsif dan tidak bias gender sangat penting agar anak laki-laki tidak terus-menerus dilabeli negatif.

 

Jadi, apakah anak laki-laki lebih nakal? Jawabannya: tidak selalu. Perbedaan perilaku antara anak laki-laki dan perempuan lebih dipengaruhi oleh faktor biologis, perkembangan otak, dan pola asuh, bukan karena satu jenis kelamin lebih “nakal” dari yang lain. Yang penting adalah memahami karakter unik setiap anak dan mendampingi mereka dengan empati dan tanpa stereotip.

 

Sumber Referensi: